Kamis, 16 April 2015

IMPLEMENTASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA



IMPLEMENTASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Menurut H. A. R. Gibb, bahwa hukum Islam mempunyai peran penting dalam membangun tatanan publik dalam umat Islam dan mempunyai pengaruh besar dalam kehidupannya. Sebab hukum Islam sebagai bagian integral dari ajaran Islam tidak dapat dipisahkan dari kerangka pokok atau dasar agama Islam. Di dalam kehidupan masyarakat Islam, norma atau kaidah yang terkandung di dalam agama Islam diimplementasikan dalam bentuk aturan pokok yang disebut syari’at Islam. Allah Swt. mewajibkan kepada umat Islam untuk melaksanakan syariat Islam dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara. Syariat wajib dilaksanakan baik sebagai agama maupun sebagai pranata sosial.
Hukum Islam sebagai salah satu pranata sosial mengalami aktualisasi bahkan lebih jauh lagi internalisasi ke dalam berbagai pranata sosial yang tersedia dalam masyarakat. Terjadinya proses alokasi hukum Islam dalam dimensi syariat ke dalam pranata sosial tersebut, menjadi landasan dan memberi makna serta arah dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Hukum berfungsi di antaranya untuk perekayasa sosial. Hukum menjadi panduan penyelenggaraan kekuasaan politik. Norma-norma hukum itu sendiri adalah produk politik, produk kekuasaan yang cenderung mengamankan diri sendiri. Karenanya senantiasa menjadi probabilitas yang selalu mengemuka, yang tujuannya juga untuk mengamankan kekuasaan. Hal ini terjadi di negara-negara yang menganut (imagined democracy).
Hukum merupakan pranata sosial dalam suatu masyarakat guna menjamin pelaksanaan hak dan kewajiban antar anggota masyarakat, baik dalam hubungan dengan individu maupun dengan negara. Hukum juga merupakan alat perekayasa sosial menuju kesejahteraan sosial. Demikian halnya dengan hukum Islam.
Hukum Islam bila ditelaah secara mendalam dalam konteks khusus mempunyai pengertian yang berbeda-beda, dibedakan antara Hukum Islam, Fiqh dan Syari’ah.
Hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan dari al-fiqh al-Islami, istilah ini dalam wacana ahli hukum Barat digunakan Islamic Law.
Dalam Alquran maupun As-Sunnah tidak dijumpai, yang digunakan adalah kata syari’ah yang dalam penjabarannya kemudian lahir istilah fiqh. Antara syariah dan fiqh memiliki hubungan yang sangat erat. Karena fiqh formula yang dipahami dari syariah. Syariah tidak dapat dipahami dengan baik, tanpa melalui fiqh atau pemahaman yang memadai, dan diformulasikan secara baku. Fiqh sebagai hasil usaha memadai, sangat dipengaruhi oleh tuntutan ruang dan waktu yang meliputi faqih (jamak fuqaha) yang memformulasikannya. Karena itulah, sangat wajar jika kemudian terdapat perbedaan dalam rumusan mereka.
Syari’ah dapat diartikan kedalam bahasa Inggris canon law of Islam. Fiqh atau Ilmu Hukum Islam ialah pengetahuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang sebagaimana dalam Alquran dan Sunnah. Konsep hukum Islam mempunyai fungsi ganda; Pertama, berfungsi sebagai syari’ah dan kedua, berfungsi sebagai fiqh.
Fungsi Syari’ah merupakan fungsi kelembagaan yang diperintahkan Allah Swt. untuk dipatuhi sepenuhnya, yaitu keseluruhan perintah Allah, atau saripati petunjuk  Allah untuk perseorangan dalam mengatur hubungan dengan Allah sesama muslim, sesama manusia, dan dengan semua makhluk di dunia ini.
Sementara produk pemikiran fuqaha yang ada sangat besar pengaruhnya di kalangan umat Islam, sehingga terdapat kecenderungan bahwa fiqh menjadi identik dengan hukum Islam. Ali Yafie menyebut fiqh mencakup ibadah, munakahat, muamalah, dan jinayah. A. Djazuli menyebut fiqh mencakup ibadah, ahwal al Syakhshiyah (perkawinan, kewarisan, wasiat dan wakaf), muamalah (dalam arti sempit), jinayah, aqdhiyah (peradilan), siyasah (dusturiyah, maliyah, dan dauliyah).
            Hukum Islam di Indonesia pada dekade terakhir sangat menggembirakan dikarenakan banyak faktor, Menurut Ahmad Azhar Basyir rasa keberagamaan di kalangan kaum muslim menunjukkan kecenderungan meningkat, sehingga kesadaran akan aktivitas dan kewajiban melaksanakan ajaran Islam yang diyakini sebagai curahan rahmat kasih sayang Allah kepada semesta alam pun meningkat pula. Hukum Islam merupakan bagian integral ajaran Islam yang tidak mungkin bisa dilepas atau dipisahkan dari kehidupan kaum muslim, atas dasar keyakinan keislamannya.
            Oleh karenanya, kaum muslim akan mengalami ketenteraman batin dalam kehidupan beragama, jika hukum Islam menjadi landasan dan tatanan hidup mereka, yang memperoleh dukungan penuh dari negara, dengan dikukuhkan dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini Negara Republik Indonesia, dengan Pancasila sebagai falsafah dasar negara dan UUD 1945 sebagai dasar konstitusionalnya, bukan saja hanya dimungkinkan, bahkan merupakan keharusan konstitusional yuridis.
            Pengembangan masuknya unsur-unsur hukum Islam dalam peraturan perundang-undangan dalam rangka pembangunan hukum nasional selalu terbuka jalannya, sejalan dengan keharusan konstitusional yuridis. Persoalannya adalah bagaimana caranya agar ketentuan hukum Islam itu dapat dipahami, disadari dan dirasakan sebagai alternatif yang mendatangkan rahmat bagi seluruh bangsa Indonesia yang notabene mayoritas menganut agama Islam, yang oleh ajaran agamanya diwajibkan tunduk kepada hukum Islam.       
            Sekian ...

Minggu, 14 Desember 2014

Rabu, 5 November 2014 12:04:56 WIBDilihat : 1541 kali
Ketika penulis mendapatkan tugas sebagai Direktur Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga pada tahun 2002, konsep integrasi dan interkoneksi menjadi wacana yang aktual bagi kalangan akademisi di IAIN Sunan Kalijaga. Sebagai direktur ketika itu, maka penulis meresponnya dengan mengubah/menambah kurikulum yang ada, dengan menambah tiga mata kuliah yang dipandang sangat penting waktu itu, yaitu 1) metodologi penelitian filsafat, agama dan sosial, 2) agama, filsafat dan sains, dan 3) isu-isu global. Mata kuliah tersebut diajarkan dengan pendekatan intregratif dan interkonektif.
Ketiga mata kuliah ini menjadi bagian utama untuk melakukan integrasi dan interkoneksi yang dimulai dengan menata metodologinya terlebih dahulu, dengan menyatukan mata kuliah metodologi penelitian filsafat, agama dan sosial, yang diajarkan oleh masing-masing ahli di bidangnya, dengan harapan integrasi dan interkoneksi itu bisa dikembangkan dengan landasan metodologi yang mantap. Pada hakikatnya konsep integrasi dan interkoneksi harus dimulai dari integrasi dan interkoneksi metodologinya. Tanpa dasar metodologi yang kuat, maka integrasi dan interkoneksi hanya akan menjadi hal mengawang-awang, tidak jelas dan tidak pernah bisa membumi.
Kemudian mata kuliah agama, budaya dan sains diajarkan dengan tujuan untuk melihat sesuatu masalah dari pendekatan lintas agama, budaya dan sains, sehingga integrasi dan interkoneksi dengan sendirinya akan terbentuk dan terbawa dalam melihat setiap masalah kehidupan dan kemanusiaan. Matakuliah ini sangat penting, karena mata kuliah ini diharapkan dapat mengembangkan paradigma integrasi dan interkoneksi melalui pembentukan tradisi akademik yang berdimensi lintas agama, lintas budaya dan lintas sains, dan ini menjadi tuntutan menjawab problematika kontemporer yang tidak bisa didekati hanya dengan pendekatan tunggal keilmuan. Masalah kemiskinan, kesejahteraan dan perdamian tidak bisa dipecahkan dengan pendekatan tunggal, baik ekonomi semata-mata, demikian juga pendekatan tunggal sosial, politik, budaya mau pun agama.
Selanjutnya mata kuliah isu-isu global ditambahkan sebagai aktualisasi paradigma integrasi dan interkoneksi secara praksis untuk memahami, mendalami dan menganalisis problematika global sebagai fenomena aktual masa kini yang sudah merupakan fenomena global, yang mau tidak mau, pendekatan integrasi dan interkoneksi itu mutlak dipergunakan. Tanpa integrasi dan interkoneksi keilmuan, kita tidak mungkin dapat memahami dan memecahkan masalah-masalah global. Penulis sendiri waktu itu mengajar aspek budaya dalam sains dan agama, bersama dengan Prof Amin Abdulah aspek agama dan Prof Choiril Anwar dari Universitas Gadjah Mada aspek sains, dan penulis pada aspek kebudayaan.
FILSAFAT ISLAM SEBAGAI METODA
Menurut pandangan penulis, filsafat Islam mempunyai potensi aktual untuk mengintegrasikan dan menginterkoneksikan studi-studi keislaman secara praksis. Tanpa dasar filsafat Islam, rasanya sulit untuk dapat mengintegrasikan dan menginterkoneksikan ilmu-ilmu keislaman. Dalam tahap ini, filsafat Islam harus diletakkan sebagai metodologi berpikir, bukan diletakkan pada kajian tokoh-tokohnya dan pemikirannya saja, atau hanya fokus pada tema-tema filsafat saja serta periodisasinya.
Pada hakikatnya setiap studi keislaman, selalu mempunyai dasar filsafatnya sendiri-sendiri. Dalam sejarah perkembangan ilmu, filsafat adalah induk dari setiap ilmu pengetahuan. Karena itu setiap cabang ilmu sesungguhnya mempunyai landasan filsafatnya sendiri sendiri. Ilmu hukum dengan filsafat hukumnya, demikian juga filsafat eknonomi untuk ilmu ekonomi, fisafat politik untuk ilmu politik, juga arsitektur dengan filsafat arsitekturnya dan seterusnya.
Filsafat Islam sebagai metoda, akan mengintegrasikan dan menginterkoneksikan studi-studi keislaman dalam suatu world view yang multidimensional. Dalam buku “Filsafat Islam Sunah Nabi Dalam Berpikir” penulis menyusun cara berpikir Islam yang dikonstruk dari tradisi berpikir Nabi sendiri dalam menjawab berbagai kasus. Dalam sejarah kenabian, terlihat bahwa para nabi dalam menjawab suatu masalah,tidak selamanya bergantung pada wahyu. Demikina juga yang dialami nabi Muhammad Saw., terutama dalam tradisi berpikir beliau sebelum usia empat puluh tahun, atau sebelum beliau menerima wahyu, sedangkan setelah usia empat puluh tahun itu berada dalam konstruksi dialektik antara aqal dan wahyu. Alquran 62:2 dijelaskan yang artinya sebagai berikut : “Dia (Allah) yang mengutus di antara orang-orang ummi, seorang Rasul dari kalangan mereka, yang menjelaskan kepada mereka ayat-ayatNya, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya adalah dalam kesesatan yang nyata”.
Dalam pandangan penulis seorang Rasul itu mengajarkan Kitab yaitu turunnya wahyu yang diterima dari Tuhannya yang terjadi secara bertahap sesuai dengan tahapan kehidupan. Sedangkan hikmah, bisa diartikan sebagai penjelasan dan penjabaran yang bisa dimengerti umatnya tentang hakikat kebenaran wahyu yang diterimanya. Dalam kenabian Muhammad Saw., ada yang menyebut hikmah sebagai al hadits. Hikmah juga bisa diartikan sebagai pengetahuan yang mendalam, suatu kearifan yang terdapat di balik realitas, kejadian dan peristiwa. Dalam ungkapan sehari-hari, ketika seseorang dalam kehidupannya menghadapi suatu kejadian, peristiwa, musibah atau ujian, seringkali dikatakan untuk bisa mengambil hikmahnya.
Karena itu, hikmah bisa diartikan sebagai pengetahuan yang mendalam, suatu kearifan yang diperoleh dari balik pemahaman terhadap realitas, suatu wisdom yang lahir dari pemikiran seseorang yang mendalam dalam perjalanan hidupnya. Dengan kata lain, maka hikmah sesungguhnya dapat diartikan sebagai pengetahuan filsafat, yaitu pencapaian atas kebenaran melalui pemikiran radikal terhadap realitas. Dalam konteks kerasulan yang tugasnya mengajarkan kitab dan hikmah, maka pengajaran tentang hikmah ini bisa dipahami sebagai filsafat, karena seorang rasul dalam sejarahnya juga pengajar tentang hakikat kehidupan dan makna hidup bagi manusia, yang sebenarnya menjadi inti dari flsafat.
Alquran 2:269 dijelaskan yang artinya “ Allah anugerahkan hikmah kepada siapa yang dikehendakiNya dan barang siapa yang medapatkannya, ia benar-benar telah dianugerahi suatu kebaikan yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah (ulul albab) yang dapat mengerti”. Dalam konteks ini, maka seorang nabi adalah juga seorang yang mendapat pengetahuan hikmah, yang menjadi inti dari filsafat. Seorang nabi juga bisa disebut seorang filosuf sebagai pengajar himah atau filsafat yaitu pengajar hakikat kebenaran segala sesuatu dalam hidup dan menjalaninya.
Untuk mampu mengajarkan kitab yang dikembangkan dalamsuatu hikmah, maka seorang nabi pastinya mempunyai suatu model berpikir tertentu yang memungkinkannya menembus realitas dan menemukan hakikat kebenaran di balik realitas atau kejadian. Model berpikir tersebut dipakai untuk memahami dan mendalami kebenaran melalui integrasi “aql” dan “qalb”.
Dalam Alquran 22: 46 menjelaskan yang artinya “maka tidak pernahkah mereka berjalan di muka bumi, sehingga hati mereka dapat memahami, telinga dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada”.
Selanjutnya dalam Alquran 33 : 21 dijelaskan yang artinya “sungguh pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagi kamu, bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan pada hari kemudian, serta mereka banyak mengingat Allah. Keteladanan nabi yang utama bagi penulis bukanlah pada perbuatannya, seperti cara makan dan memelihara jenggot saja, tetapi keteladanan beliau pada pemikirannya, karena perbuatan adalah tindak lanjut dari pemikiran, pemikiran adalah ibu kandung perbuatan. Bahkan dalam prinsip etika, perbuatan yang tidak disertai pemikiran adalah pemikiran yang tidak disadari, maka perbuatan itu tidak termasuk ranah etika, seperti perbuatan orang yang kehilangan akal sehatnya atau perbuatan orang gila.
Paradigma integratif dan interkonektif sesungguhnya dapat dimungkinkan dengan integrasinya “aql” dan “qalb” sebagai suatu metoda berpikir untuk memahami realitas. Pendekatan integratif adalah pendekatan ulul’albab yang secara jelas digambarkan Alquran 3: 190-191 yang artinya sebagai berikut : “sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang adalah tanda-tanda bagi ulul albab, yaitu mereka yang mengingat (zikir/qalb) tentang Allah dalam keadaan berdiri, duduk, berbaring dan memikirkan (aql, rasio) tentang penciptaan langit dan bumi ; ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia ; Mahasuci Engkau, maka hindarkanlah kami dari siksaan neraka.
Penjelasan Alquran di atas bisa dimengerti akan adanya proses rasional transcendental di mana 1) mengingat (zikir pada kekuasaan Allah) mendahului 2) berpikir untuk memahami dan mendalami semua ciptaanNya di langit dan di bumi,3) dan mencapai proses transendensi dengan 4) kesadaran tidak akan menyia-nyiakan semua ciptaanNya dan aktualitas perbuatan yang terhindar dari siksaan neraka. Ini menjadi metoda berpikir integratif dan interkonektif yang berada dalam jalan hidup seseorang untuk selalu mensyukuri dan menghindari siksaan neraka.
Karena itu, bagi penulis makna surat al fatihah yang dibaca setiap kali oleh seorang muslim ketika menjalankan solat, terutama saat membaca Alquran 1: 6-7 yang dijelaskan artinya : “tunjukkan kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan mereka yang dimurkai dan bukan pula mereka yang tersesat. Maka jalan lurus itu dapat dimengerti sebagai metoda berpikir yang secara konsisten dan lurus, kemudian diaktualisasikan dalam perbuatan yang memberikan manfaat bagi kehidupan bersama, akan menjadi nikmat, bukan laknat apalagi tersesat.
Filsafat Islam sebagai metoda berpikir menjadi dasar bagi peradigma integrative interkonektif, yang secara sistemik menyatukan antara aql, qalb, wahyu dan realitas menjadi suatu metodologi berpikir yang bersifat rasional transcendental, dan selalu berdimensi majemuk. Karena itu, filsafat Islam sebagai metode berpikir seperti yang dijelaskan di atas, akan menjadi dasar dalam merumuskan filsafat dalam studi-studi keislaman. Dalam kaitan ini, maka seharusnya dalam setiap fakultas diajarkan filsafat Islam sesuai dengan bidang kajiannya masing masing, seperti filsafat hukum Islam di fakultas syari’ah, filsafat pendidikan Islam di fakultas tarbiyah, filsafat dakwah Islam di fakultas dakwah, filsafat eknonomi Islam di fakultas ekonomi dan bisnis dan seterusnya.
INTEGRASI DAN INTERKONEKSI SEBAGAI METODOLOGI DALAM STUDI KEISLAMAN
Dalam sebuah forum dialog di TVRI Yogyakarta, penulis selaku rektor UIN Sunan Kalijaga ditanya oleh seorang pemirsa, bahwa berubahnya IAIN menjadi UIN adalah suatu pendangkalan ilmu agama. Pertanyaan mereka itu didasarkan pada fenomena bahwa penguasaan ilmu agama pada alumni UIN lebih rendah daripada alumni IAIN dulu. Pertanyaan itu juga pernah menjadi perdebatan yang panjang di kalangan akademisi IAIN ketika kita akan berubah menjadi UIN.
Di samping itu, pandangan bahwa ilmu keislaman adalah ilmu agama masih tetap kuat di kalangan masyarakat Islam sendiri, sehingga ilmu keislaman bagi mereka adalah ilmu-ilmu agama seperti yang ada di IAIN dulu, yaitu ushuluddin, dakwah, syariah, adab dan terbiyah. Sedangkan ilmu-ilmu di luar studi agama adalah bukan ilmu keislaman. Dengan kata lain, mereka sebenarnya masih berpandangan bahwa Islam adalah agama, bukan kebudayaan, sehinga sains dan teknologi sebagai bagian dari kebudayaan, tidaklah termasuk kajian keislaman.
Karena itu, paradigm integratif dan interkonektif menjadi sangat penting dan fundamental dalam merumuskan kajian-kajian keislaman, di mana posisi Islam sebagai nilai-nilai yang mendasar dan mengikat setiap kajian keislaman yang ada dalam berbagai aspek kebudayaan, baik kebudayaan sebagai sistem nilai, produk maupun eksistensi manusia dalam perjalanan hidupnya yang kompleks.
Dalam pandangan penulis, yang paling sulit dilakukan dalam usaha melakukan integrasi dan interkoneksi studi-studi keislaman adalah bagaimana merumuskan metodologinya. Upaya integrasi dan interkoneksi yang banyak dilakukan sekarang ini adalah mengintegrasikan dan menginterkoneksikan materi kajian dari studi studi keislaman dalam kajian ilmu-ilmu umum atau sebaliknya, seperti mengintegrasikan materi kajian kajian Islam, terutama Alquran dan Alhadits diintegrasikan dan diinterkoneksikan dengan bidang kajian-kajian ilmu-ilmu umum.
Konsep pohon ilmu ilmu keislaman (Prof Imam Suprayogo) serta konsep jaring labah-labah ilmu ilmu keislaman ( Prof Amin Abdullah) menurut pandangan penulis yang sempit ini, rasanya belum sampai merumuskan pada metodologinya. Integrasi dan interkoneksi model ini, seringkali diimplementasikan dengan melakukan integrasi infrastruktur fisik dan non fisik, termasuk material dan bahan ajar dalam pengembangan keilmuan dalam suatu konsep universitas.
Dalam pandangan Islam, sebenarnya tidak mengenal dualisme pendidikan dan dikhotomi keilmuan. Pendidikan harus dilakukan secara integratif, sehingga keragaman ilmu bisa saling menyapa dan menyatu dalam memecahkan persoalan kemanusiaan yang makin kompleks. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa masalah masalah kemanusiaan, seperti kesejahteraan, kemiskinan, kebahagiaan, keamanan dan perdamaian, tidaklah bisa dipecahkan dengan pendekatan tunggal keilmuan semata mata. Karena itu, pendekatan integratif dan interkonektif adalah suatu keniscayaan dalam kehidupan yang semakin global ini.
Jika kita akan menempatkan integrasi dan interkoneksi sebagai suatu metodologi, maka dalam setiap jenjang pendidikan di UIN Suka baik S1, S2 maupun S3nya, bagaimana jabaran dalam kurikulumnya. Demikian juga halnya dalam berbagai fakultas yang ada, bagaimana integrasi dan interkoneksi sebagai metodologi dapat diimplementasi-kan dalam berbagai fakultas, sehingga sehingga masing-masing keilmuan yang dikembangkan oleh setiap fakultas berada dalam ikatan metodologi yang sama, yaitu integrasi dan interkoneksi.
Semoga bermanfaat wallahu a’lamu bishshowab.
(Disampaikan dalam rangka Seminar “Praksis Paradigma Integrasi Interkoneksi Ilmu dan Transformasi Islamic Studies”, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Convention Hall, 22-23 Oktober 2014)

Minggu, 12 Oktober 2014


PROFIL FAKULTAS  SYARI’AH DAN HUKUM
(كلية  الشـريعة والحكم)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

SEJARAH
Berdirinya Fakultas Syari’ah dan Hukum (dulu Fakultas Syari’ah) tidak dapat dilepaskan dari adanya keinginan umat Islam Indonesia untuk memiliki lembaga pendidikan tinggi Islam sejak jaman kolonial. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, pada bulan April 1945 diadakan pertemuan antara berbagai tokoh organisasi Islam, ulama dan cendikiawan. Dalam pertemuan itu dibentuklah panitia Perencana Sekolah Tinggi Islam yang diketuai oleh Drs. Moh. Hatta.
Pada mulanya pembentukan PTAIN, sesuai peraturan pemerintah No. 34 tahun 1950, membuka tiga jurusan, yaitu jurusan Qadla, Tarbiyah dan dakwah yang bertahan hingga Sembilan tahun. Kemudian terjadi peleburan PTAIN dan digabungkan dengan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) milik Departemen Agama yang didirikan di Jakarta sesuai Penetapan Menteri Agama No. 43 tahun 1960 menjadi Intitut Agama Islam Negeri (IAIN) al-Jami’ah al-Islamiyah al-Hukumiyah, dan diperkuat dengan Peraturan Presiden RI No. 11 tahun 1960. Dalam penetapan itu dinyatakan bahwa IAIN mempunyai empat Fakultas, yaitu Fakultas Syari’ah dan Fakultas Ushuluddin yang bertempat di Yogyakarta, serta Fakultas Tarbiyah dan Adab bertempat di Jakarta. Fakultas Syari’ah tersebut merupakan pemekaran dari Jurusan Qadla (Peradilan Agama Islam) yang kemudian berkembang menjadi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga sekarang ini.

rojaa unaa katsiir...


13 oktober 2014 pukul 9:23

Kadang ku terbelenggu dalam cinta dunia, yang telah melelapkanku tidur pulas dalam keindahan dunia... Terhentak ku mengingat firman allah : walal aakhirotu khirul laka minal uula... Tapi... Setan di dalam hati selalu membawa agar ku mengabaikan itu... Begitu lemahnya hati hambamu ya allah... Engkau menciptakan qolbun (hati) yang sesuai dengan artinya "berbolak-balik" 

Petunjukmu yg aku harapkan
Keridhoanmu yg aku inginkan
Ampunan mu yg aku mohonkan...
Jika engkau menolak, kepada siapa lagi kami memohon keculi engkau ya allah...

Sabtu, 11 Oktober 2014

~*** SELAMAT ULANG TAHUN HATIKU ***~
Hari ini tak ada seuntai kata yang patut aku haturkan kepadamu wahai hatiku.....
namun di lidah para jiwamu yang kelu ataupun lintasan lintasan pemikiranku, sebait kalimat terangkai sebagai ucapan
"Selamat Ulang Tahun Wahai Hatiku" rasa dari jiwa jiwamu di belantara raga ini....
Selamat hari jadi wahai hatiku...,kenang dan kenanglah tahun tahun perjalananmu karena engkau adalah ibu dari anak anak kehidupan
yang telah engkau ciumi kening usianya, sebab dirimu adalah sesosok pengembara di bumi jasadi ini..
dan dengan penuh bersahaja telah kau reguk segala petuah rasa di setiap jamuan kehidupan...
Jika pedih telah menyayatmu dengan tulusnya...,maka kami para jiwa jiwamu meyakini bahwa perih yang mengoyak nadi perasaan niscaya adalah hikmah secawan anggur ketegaran yang kelak akan mentabahkan sejatimu...